Merancang Undang-Undang Antikorupsi
Rancangan revisi UU No.31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi) versi Pemerintah menuai kritik tajam dari para pakar dan penggiat antikorupsi. ICW, misalnya, menggugat agar rancangan tersebut dibatalkan karena justru akan “menghentikan denyut nadi pemberantasan korupsi” (Kompas, 27 Maret 2011).
ICW setidaknya menemukan sembilan kelemahan dalam rancangan tersebut. Kelamahan itu di antaranya penghapusan ancaman hukuman mati dan hukuman minimal di beberapa pasal, dekriminalisasi korupsi di bawah nilai Rp 25 juta, dan penurunan ancaman hukuman minimal menjadi satu tahun.
Karena itu, Pemerintah, dan juga KPK, sedang mencari masukan dari para pakar untuk memperbaiki UU Antikorupsi. Lalu, bagaimana seharusnya UU Antikorupsi dirancang agar pemberantasan korupsi represif efektif? Bagian pertama tulisan ini akan membahas kelemahan desain kebijakan dan ruang lingkup UU Antikorupsi. Kriminalisasi dan sanksi terhadap perilaku korup dibahas di bagian kedua tulisan.
Kelemahan kebijakan
Keanggotaan Indonesia pada United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) 2003, yang diratifikasi dengan UU No.7/2006, mewajibkan Pemerintah Indonesia merevisi atau menyesuaikan UU Antikorupsi dengan standar minimal pengaturan UNCAC. Namun, terlepas dari kewajiban demikian, apakah sebenarnya kelemahan desain kebijakan (policy design defects) dari UU No.31/1999 jo UU No.20/2001? Analisis terhadap kelemahan ini penting agar dalam rancangan UU Antikorupsi nanti kekeliruan demikian dapat dihindari.
Dari hasil penelitian doktoral (PhD) antikorupsi penulis terhadap desain dan implementasi UU No.31/1999 jo UU No.20/2001 setidaknya terdapat enam kelemahan mendasar dari undang-undang itu. Pertama, pembuat undang-undang masih mempersepsikan dan memperlakukan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan biasa (ordinary crime). Pemberlakuan pembuktian terbalik terbatas, misalnya, bukanlah pembuktian terbalik (reversed burden of proof) dalam arti yang sebenarnya, karena penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Kedua, tujuan UU No.31/1999 tidak dinyatakan secara jelas dan tegas. Ketiga, perumusan definisi, ruang lingkup, dan ketentuan acara pidana pemberantasan tindak pidana korupsi menimbulkan perbedaan penafsiran dan kesulitan dalam penegakan hukum antikorupsi. Keempat, asumsi sebab-akibat teoritis dari pembuat undang-undang tidak sepenuhnya tepat. Tidak seharusnya korupsi dibatasi pada kerugian keuangan negara. Selain itu, ketidakefektifan pemberantasan represif tindak pidana korupsi lebih disebabkan oleh kelemahan dalam penegakan hukum antikorupsi, bukan semata-mata pada kelemahan desain kebijakan.
Kelima, pembuat undang-undang gagal membatasi dengan jelas dan tegas kewenangan diskresional penegak hukum. Salah satu faktor penyebab mafia hukum adalah terlalu luas, tidak jelas, dan lemahnya kontrol terhadap penggunaan kewenangan diskresional penegak hukum. Dan keenam, kelemahan mendasar KUHAP sebagai hukum formal pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dalam praktiknya membuka peluang penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum.
Namun demikian, bila dibandingkan dengan UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kita harus mengakui UU No.31/1999 masih lebih baik. Dengan memperluas ruang lingkup tindak pidana, subyek hukum, dan jenis sanksi terhadap pelaku korupsi, UU No.31/1999 memiliki probabilitas yang lebih baik dalam mendeteksi dan menghukum perilaku korup serta mengembalikan aset hasil korupsi.
Akan tetapi, bagaimana seharusnya suatu kebijakan khususnya UU Antikorupsi dirancang? Paul Sabatier (1986) mensyaratkan tiga prakondisi. Pertama, kebijakan tersebut harus memiliki tujuan yang jelas dan konsisten. Kedua, kebijakan demikian harus berdasarkan teori kausalitas kebijakan yang adekuat dan teruji. Terakhir, kebijakan itu harus mampu secara legal menstrukturisasi proses implementasi untuk menjamin ketaatan pelaksana kebijakan atau penegak hukum terhadap ketentuan dan standar implementasi kebijakan.
Dalam setiap kebijakan, termasuk UU Antikorupsi, perumusan tujuan kebijakan adalah yang paling krusial. Lalu, apa yang seharusnya menjadi tujuan UU Antikorupsi? Pada dasarnya tujuan UU Antikorupsi adalah untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good government and good corporate governance) guna melindungi kepentingan umum dan memajukan kesejahteraan rakyat.
Dengan kata lain, UU Antikorupsi hendak mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, efisien, efektif, partisipatif, transparan, dan akuntabel (good governance). Tujuan subordinat UU Antikorupsi adalah untuk mengembalikan aset dan kekayaan negara yang dicuri oleh para koruptor (stolen asset recovery). Tujuan preventif UU Antikorupsi adalah untuk mencegah pembusukan atau disfungsi kelembagaan pemerintahan dan swasta.
Perumusan ketentuan mengenai ruang lingkup dan batasan perilaku korup merupakan hal lain yang tidak kalah penting. Perumusan demikian haruslah mencakup semua bentuk dan jenis korupsi dan penyalahgunaan wewenang, baik yang terjadi saat ini maupun yang akan datang. Jadi, ketentuan tersebut dinamis dan memiliki daya jangkau ke depan (futuristik). Hal ini untuk mengantisipasi segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang, jabatan, dan kesempatan yang mungkin terjadi di masa depan.
Sayangnya, para akademisi berbeda pendapat dalam mendefinisikan korupsi. Akan tetapi, berbagai definisi tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga klasifikasi (Brown 2004), yaitu yang menekankan pada jabatan publik (public office), pasar (market), dan kepentingan umum (public interest).
Dengan mengatasi kelemahan dan mensintesakan kekuatan berbagai definisi tersebut, saya mendefinisikan korupsi sebagai “penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi” (abuse of trust for private gain). Kepentingan pribadi dapat berupa keuntungan moneter dan nonmoneter. Definisi ini tidak menekankan pada kerugian negara sebagai unsur tindak pidana korupsi. Dalam praktiknya penekanan pada kerugian negara telah menimbulkan kesulitan dalam pembuktian dan seringkali digunakan oleh oknum penegak hukum untuk membebaskan tersangka atau terdakwa.
Karena itu, definisi demikian memiliki makna yang luas, yaitu mencakup korupsi aktif (demand side) dan korupsi pasif (supply side), maupun korupsi otogenik seperti penggelapan. Korupsi demikian, baik grand corruption maupun petty corruption, dapat dilakukan oleh pejabat publik, swasta, dan korporasi. Pejabat publik adalah setiap orang yang menjalankan fungsi publik (DPOK).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar